Seluruh bangsa Indonesia tentunya ingin merayakan hari kemerdekaan pada 17 Agustus 2021 dengan penuh suka cita seperti pada masa-masa sebelum Covid-19 menyerang Bumi Pertiwi.
Tapi keinginan itu sepertinya belum bisa terwujud untuk perayaan Agustusan tahun ini. Biang keroknya adalah virus yang belum tuntas terbasmi.
Berdasarkan Our World in Data, kasus baru Covid-19 di Tanah Air mencapai angka tertinggi pada 15 Juli 2021, yaitu 56.757 kasus. Kemudian, hingga tujuh hari menjelang peringatan Hari Kemerdekaan RI, angka tersebut turun menjadi 32.081 kasus.
Kondisi tersebut terbantu oleh kebijakan pemerintah yang menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Melihat tren kasus yang terus menurun seiring dengan penerapan PPKM level 4, 3 dan 2 di Jawa dan Bali, maka pemerintah kembali memperpanjang PPKM hingga 16 Agustus 2021, atau tepatnya sehari sebelum puncak peringatan 76 tahun pembebasan negeri ini dari penjajahan.
"Atas arahan Bapak Presiden Republik Indonesia, maka PPKM Level 4, 3, dan 2 di Jawa-Bali akan diperpanjang sampai tanggal 16 Agustus 2021," begitu penjelasan Menko Bidang Kemaritiman Dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Koordinator PPKM Jawa-Bali, seperti dilansir Kompas.com, Senin (9/8).
Dari sini jelas tergambar bahwa penanganan pandemi yang telah merenggut ribuan jiwa anak-anak bangsa itu harus dilakukan secara bersama-sama alias gotong royong, tak bisa hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau aparat, tapi seluruh lapisan masyarakat yang berada di ujung Sumatera hingga ujung Papua, hendaknya juga menyingsingkan lengan untuk bersama-sama berupaya mengusir 'penjajah tak kasat mata' ini dari Bumi Nusantara.
Selasa, 17 Agustus 2021, adalah sebuah momentum bagi bangsa Indonesia untuk menyatukan komitmen dan semangat agar Indonesia Merdeka dari 'penjajahan' Covid-19.
Apabila semua anak bangsa bertekad layaknya para pahlawan kemerdekaan pada 1945 silam, bukan mustahil Indonesia akan secara bertahap terbebas dari pandemi, masyarakat sudah bisa beraktivitas tanpa sibuk lepas pasang masker, para penggila shopping tak perlu lagi menunjukkan sertifikat vaksin untuk memasuki mall dan pusat perbelanjaan, para penyuka kuliner tak perlu cemas digeruduk Satgas Covid-19 saat menikmati menu makanan pilihan mereka, dan anak-anak kita kembali bisa berinteraksi dengan guru dan kawannya di sekolah tanpa takut kehabisan kuota Internet gawai mereka karena setiap hari mengikuti pembelajaran daring.
Jika kita semua ingin kembali ke masa-masa indah sebelum pandemi, yaitu merayakan Agustusan dengan menggelar berbagai lomba tanpa ribet jaga jarak dan memakai masker, kuncinya cuma satu: Bersatu padu. Artinya, jangan saling menyalahkan, membuang ego dan kompak untuk bersama-sama membantu pemerintah dalam upaya meredam penyebaran Covid-19 dan sekaligus membuat Indonesia kembali sehat, yaitu sehat masyarakatnya dan sehat ekonominya. Karena tanpa masyarakat yang sehat, sulit untuk menggairahkan kembali perekonomian Indonesia yang sudah lemah lunglai akibat serangan pandemi sejak awal 2020 lalu.
Komunikasi Harga Mati
Mengutip jargon atau slogan 'NKRI Harga Mati', sepertinya sangat relevan untuk diterapkan sekarang ini, di tengah situasi pandemi, di mana masih ada beberapa gelintir orang yang tak lagi peduli dengan keselamatan orang lain dan keluarga, padahal mereka jelas-jelas terinfeksi Covid-19. Atau mereka yang tak peduli dengan sesama karena mereka belum paham dengan aturan dan imbauan pemerintah terkait pencegahan Covid-19, dan banyak lagi alasan lain yang membuat upaya penanganan pandemi belum optimal.
Jika berkaca dari nasihat dan obsesi sang pencetus slogan, yakni mendiang pendiri Yayasan Al Muttaqien Pancasila Sakti, KH Moeslim Rifa’i Imampuro atau yang akrab dipanggil Mbah Lim, bahwa slogan NKRI Harga Mati tak lain dan tak bukan adalah upaya beliau untuk selalu menyosialisasikan dan menebar semangat kepada seluruh masyarakat Indonesia bahwa dengan menguatkan persatuan, Indonesia tak akan mudah tercabik-cabik. Dalam konteks kekinian, semangat itu tetap dibutuhkan demi menjaga Indonesia tetap jaya dan kuat menghadapi berbagai cobaan, terutama cobaan dari Yang Kuasa melalui pandemi Covid-19.
Namun yang menjadi alat utama untuk menggugah semangat berjuang seperti yang diinginkan Mbah Lim untuk mengatasi pandemi saat ini adalah komunikasi yang intens dari mereka yang diberi amanah negara untuk menyampaikan apa yang diperintahkan atau apa yang sedang dilakukan oleh pemerintah beserta seluruh jajarannya terkait upaya menghabisi Covid-19 ini, bisa diterima oleh seluruh masyarakat.
Dalam konteks ini, tentu para aparat yang bernaung di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika beserta seluruh jajaran di Dinas Kominfo dari Sabang sampai Merauke, berkewajiban untuk berkomunikasi dengan baik dan intens dengan masyarakat di wilayah kerjanya masing-masing mengenai beragam kebijakan terkait Covid-19.
Dari tangan-tangan mereka, dari ucapan-ucapan mereka, muncul narasi-narasi yang membuat rakyat paham dan menyimak apa yang sedang dilakukan pemerintah.
Kalau mengenang masa lalu, bahkan ketika stasiun televisi cuma ada satu, yaitu TVRI, ditambah lagi dengan RRI, sepertinya beragam kebijakan dan pengumuman penting dari pemerintah kala itu, begitu antusias didengarkan dan disimak oleh masyarakat. Publik pasti hapal dengan kata-kata pembuka dari Menteri Penerangan di era Orde Baru, Harmoko, yang selalu mengutip arahan Presiden Soeharto sebelum menyampaikan pengumuman atau pun kebijakan pemerintah. "Menurut petunjuk Bapak Presiden..." Begitulah kira-kira kalimat pembuka dari Harmoko, dan saat itu mayoritas publik akan menyimak dengan seksama tentang kebijakan baru dari pemerintah yang disampaikan oleh sang menteri penerangan.
Nah, di era digital sekarang ini, yang diwarnai dengan begitu banyaknya platform yang bisa dimanfaatkan untuk berkomunikasi, seharusnya pesan-pesan pemerintah akan lebih mudah menjangkau publik. Saat kita terjaga dari tidur pun langsung bisa tahu kabar terbaru, karena kita lebih sering langsung membuka ponsel saat tersadar dari alam mimpi.
Bersama-sama dengan media, para humas pemerintah harus saling bahu-membahu menyampaikan informasi penting kepada publik dengan caranya masing-masing. Yang penting pesan dari pemerintah tersampaikan dan masyarakat paham.
Ada banyak cara dan pintu bagi publik untuk mengakses berita dan informasi. Ada yang lebih suka mencari informasi dari portal berita, ada yang dari televisi, radio. Sementara kaum milenial, ada juga kaum 'kolonial' berjiwa milenial, yang mendapatkan informasi dari media sosial, semacam Facebook, Instagram, Twitter dan lainnya.
Beragam platform berbasis Internet yang telah menjelma menjadi jendela informasi interaktif itu, hendaknya dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh para humas pemerintah agar tidak terjadi miscommunication alias 'tulalit' dalam menyampaikan informasi.
Dengan begitu, kita mungkin akan jarang mendengar informasi tentang data penerima bantuan sosial tidak valid, pelaksanaan vaksinasi Covid-19 tak mencapai target, banyak masyarakat abai dengan protokol kesehatan dan sebagainya.
Untuk itu, belum ada kata terlambat bagi para corong negara untuk membenahi cara berkomunikasi dengan publik bila dirasa ada yang belum pas, juga mulai manfaatkan seluruh platform yang bisa dipakai untuk berkomunikasi dengan publik dari sekarang.
Bila publik terinformasi dengan baik, dan dengan cara yang pas menurut mereka, niscaya kaum milenial hanya melihat cara berkomunikasi ala Harmoko merupakan bagian dari sejarah. Dunia sudah berubah, dunia sudah saling terhubung berkat Internet. Apabila Indonesia berhasil dalam penanganan Covid-19, masyarakat dunia akan tahu kehebatan negeri kita, seperti ketika Bung Karno memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia yang dipancarluaskan melalui Kantor Berita Antara ke seluruh dunia pada 17 Agustus 1945 silam.
Pada peringatan 17 Agustus 2021, bukan hanya slogan 'NKRI Harga Mati' yang harus tetap menancap di benak rakyat Indonesia, tapi 'Komunikasi Harga Mati' juga harus menjadi jargon baru untuk memerdekakan Bumi Pertiwi dari pandemi. MERDEKA!