Cukai Jadi Penyumbang Terbesar APBN

Demak – Pemerintah menggencarkan sosialisasi melalui Dinas Komunikasi dan Informatika untuk memberantas cukai ilegal diantaranya dengan menggelar acara Bincang Pagi Radio Suara Kota Wali bertema "Never The End : Diplomasi Tembakau, Rokok, Serta Cukai", Rabu (27/10).

Bincang pagi menghadirkan narasumber Yuwanto (Direktur  Departemen Ilmu Sosial UNDIP) dan Eko Handoyo (Wakil Direktur 2 Pasca Sarjana UNNES) dengan dipandu Jayanto Arus Adi (Dewan Pers).

Dalam kesempatan tersebut, Eko Handoyo menyampaikan bahwa Kementerian Keuangan mencatat kenaikan harga rokok melalui cukai hasil tembakau (CHT) membuat penerimaan negara pada APBN di sektor tersebut tumbuh signifikan. Kontribusinya mencapai 97 persen dari total penerimaan cukai. Namun di sisi lain, rokok juga merugikan kesehatan sehingga harus menjadi perhatian. Bahkan rokok disebutkan menjadi pintu masuk bagi hal-hal negatif nomor 2 setelah minuman keras (miras).

"Beberapa masyarakat berpendapat bahwa rokok itu asupan psikis, bikin tenang, nyaman dan lebih fokus,” lanjut Eko.

Yuwanto menambahkan bahwa bila pemerintah hanya mengandalkan cukai sebagai instrumen pemasukan/pendapatan negara itu “ndeso” dan mengecewakan mengingat negara Indonesia itu kaya, sehingga bisa mengandalkan pendapatan dari instrumen lain selain cukai.

“Dengan mengandalkan pendapatan dari cukai, artinya negara tidak konsisten dan mengorbankan kesehatan masyarakatnya. Negara yang seperti ini tidak akan maju karena seperti kita semua tahu bahwa rokok itu tidak sehat,” imbuhnya.

Namun memang tidak dapat dipungkiri bahwa cukai hingga saat ini masih menjadi penyumbang terbesar pendapatan negara. Keberadaan industri ini menjadi bantalan pendapatan negara. Tercermin dari target pendapatan cukai tahun ini mencapai Rp180 triliun dan akan kembali meningkat di tahun depan menjadi Rp203 triliun.

Pada tahun 2022 pemerintah berencana kembali menaikkan tarif cukai rokok, namun pemerintah selaku stakeholder utama diharapkan tetap berada di posisi netral di atas berbagai kepentingan yang ada. Pemerintah dapat memonopoli kebijakan publik yang memiliki dampak memaksa semua kalangan namun tetap harus memperhatikan, memikirkan dan mengadopsi kepentingan pengusaha kecil, petani rokok, buruh dan masyarakat.