Mobilitas vs Polantas, Kita Harus Bagaimana?

Kalau bicara soal peristiwa unik dan menggelitik, mungkin negerinya warga +62 adalah gudangnya. Cerita terbaru yang mengemuka adalah soal para pesepeda diputarbalikkan oleh petugas kepolisian saat akan melintasi jalan protokol di Ibu Kota dengan alasan takut menimbulkan kerumunan. Yang jadi pertanyaan adalah, kenapa motor boleh melintas?

Keputusan polisi 'mengusir' para pegowes itu berlandaskan pada aturan terkait penerapan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) untuk menekan mobilitas warga di Jakarta demi mengurangi kasus baru Covid-19.

Hal itu ditegaskan Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Sambodo Purnomo Yogo, bahwa pelarangan dilakukan karena Jakarta masih menerapkan PPKM Level 4.

Tetapi ketika penyekatan mulai dihilangkan dan diganti dengan penerapan kawasan ganjil-genap, yang sekarang sudah berkurang dari delapan titik menjadi tiga titik, yakni di Jl Sudirman, Jl MH Thamrin, dan Jl Rasuna Said, para pegowes ternyata tetap belum diizinkan melintas.

Di sinilah barangkali Pak Polantas dituntut bijak dalam menyikapi kekecewaan para pegowes, yang tentunya iri dengan pengguna kendaraan lain yang justru bebas melintas, kecuali kendaraan roda empat yang nomor polisinya tidak sesuai tanggal ganjil atau genap.

Banyak pesepeda yang bertanya-tanya kenapa mobil dan motor boleh masuk ke semua kawasan di Ibu Kota saat PPKM level 3 diberlakukan? Kalau karena alasan para pesepeda takut memicu kerumunan ketika melaju berkelompok, bagaimana dengan pemotor yang juga melaju beriringan dengan sesama pemotor?

Ketua Umum Bike To Work (B2W) Indonesia, Fahmi Saimima, ikut angkat bicara menyikapi polemik ini.

"Secara hitungan sederhana saja, sepeda itu sangat menguntungkan bagi manusia, alam dan perekonomian karena baik dari sisi kesehatan dan menekan biaya operasional. Rasanya kurang tepat juga kalau sepeda tak boleh melintas di jalur utama seperti jalan Sudirman-Thamrin. Padahal banyak juga mereka yang berkantor di sana," ujar Fahmi dalam keterangan tertulisnya baru-baru ini.

Melihat situasi seperti ini, para pembuat kebijakan harusnya juga melakukan penyesuaian aturan terhadap para pesepeda seiring dengan dicabutnya semua pos penyekatan setelah kasus baru Covid-19 terus melandai.

Kemudian petugas di lapangan yang ditugaskan untuk mengawasi penerapan PPKM, harusnya juga diberikan arahan agar bisa memilah berdasarkan nalar untuk menentukan apakah pesepeda layak untuk diizinkan melintas atau tidak. Pada tahapan ini, petugas bisa mewawancarai maksud dan tujuan mereka. Dengan diskresi yang dimiliki, petugas bisa memberikan izin dengan terlebih dahulu menyesuaikan dengan situasi yang ada.

Para pentolan B2W Indonesia berpendapat sepeda komuter perlu diberi perlakuan berbeda. Selain bebas polusi, jarak terjaga, bersepeda juga merupakan solusi bagi warga yang kesulitan menggunakan transportasi publik karena persyaratan pengetatan.

Satukan Sikap

Bila berbicara soal sepeda, terutama di Jakarta, selalu tak lepas dari polemik. Ada saja masalah yang timbul dari kegiatan gowes ini, mulai dari pembangunan jalur khusus sepeda, pemilahan jalur untuk road bike (sepeda balap), jalur khusus road bike yang bukan peruntukannya (Jalan Layang Non-Tol), pesepeda road bike nyerobot jalur kendaraan bermotor dan sebagainya.

Dari semua masalah yang disebutkan tadi, ditambah dengan larangan melintas jalan protokol selama PPKM, dibutuhkan satu sikap dari para komunitas pesepeda. Mereka jangan lagi mengedepankan ego kelompoknya masing-masing seperti ketika para pesepeda lipat dan sepeda gunung protes terhadap kebijakan yang mengizinkan JLNT Casablanca hanya untuk road bike pada akhir pekan.

Kebijakan itu sendiri sebagai solusi dari 'gesekan' antara pesepeda biasa dengan pesepeda balap ketika Pemprov DKI mewajibkan seluruh pesepeda yang melintas di kawasan yang memiliki jalur khusus sepeda untuk menggunakan jalur tersebut, sehingga tidak mengganggu pengguna kendaraan bermotor.

Namun, saat itu para pengguna road bike kerap tidak mematuhi aturan tersebut karena bila masuk ke jalur khusus, kecepatan gowes mereka terhambat oleh para pesepeda non balap yang melaju santai. Belum lagi gesekan yang muncul dengan para pemotor dan pemobil yang merasa jalur mereka, 'dirampok' para pengguna road bike.

Meski belakangan polemik antar-pesepeda sudah reda, namun komunitas pegowes seperti berjalan sendiri-sendiri sesuai kepentingan kelompok masing-masing. Padahal dibutuhkan suara dan sikap yang sama dalam menghadapi masalah yang merugikan pesepeda secara keseluruhan.

Di luar masalah larangan melintas jalan protokol di Ibu Kota, ada isu lebih besar yang harus segera dirembuk bersama, yakni soal tarik ulur pembongkaran jalur khusus sepeda. Jika para komunitas pesepeda lintas merek dan fungsi tak satu visi, bukan tak mungkin jalur khusus sepeda yang dibangun dengan biaya besar itu dibongkar.

Sebagian pemangku kepentingan mungkin merasa jalur khusus sepeda itu tak efektif, karena tidak optimal dimanfaatkan. Apalagi tercatat ada beberapa kasus kecelakaan kendaraan bermotor yang menabrak beton pembatas jalur sepeda dengan jalur kendaraan bermotor.

Akan tetapi, kalau sampai jalur sepeda di Jakarta ditiadakan, pasti para pesepeda dari berbagai 'genre' akan dirugikan. Betapa tidak, mereka harus berjibaku 'melawan' kendaraan lain demi mendapatkan lajur yang nyaman buat mereka melaju. Singgungan tak cuma berpotensi terjadi dengan sesama pesepeda, tapi juga dengan motor, bajaj, mobil hingga bus kota. Kalau sudah begini, siapa yang rugi?

Makanya komunitas pesepeda di seluruh negeri harus sering bertemu baik secara virtual maupun tatap muka untuk menyatukan sikap terkait masalah yang mereka hadapi bersama. Selanjutnya berdiskusi dengan para pemangku kepentingan, para ahli, dan pengamat untuk mendapatkan masukan yang pas atas setiap isu yang mengemuka.

Setelah itu, segera dibangkitkan semangat dan niat untuk menggowes sebagai sarana transportasi harian ke tempat kerja. Apalagi sekarang semakin banyak gedung perkantoran yang sudah menyediakan slot parkir untuk sepeda dan kamar mandi bagi para pesepeda untuk membersihkan badan sebelum mulai beraktivitas kerja.

Terutama bagi komunitas B2W, janganlah hanya memajang aksesoris di tas, meja kerja atau di manapun, tapi sepedanya hanya parkir di garasi rumah, sementara pemiliknya masih suka naik motor, mobil atau transportasi umum ke kantor. Komunitas ini harus menginsipirasi dan mengajak lebih banyak komuter untuk gowes bareng ke kantor.

Terbukti, jalur sepeda selama weekdays nyaris kosong melompong. Kalau pun ada, jumlahnya bisa dihitung dengan jari dan mereka pun mayoritas untuk aktivitas olahraga. Tak jarang juga mereka 'didampingi' oleh sepeda 'Starling' (penjual kopi keliling) yang memanfaatkan jalur sepeda sunyi itu seenak udel mereka.

Adaptif dan Antisipatif

Tak adil kalau hanya menyoroti para pesepeda untuk mengatasi masalah yang kerap dialami oleh mereka sendiri selama menggowes di Ibu Kota, baik sebelum atau selama penerapan PPKM. Padahal, peran pemangku kepentingan sangat besar untuk meredam masalah tidak muncul kembali di masa mendatang.

Diperlukan kebijakan yang adaptif dengan kondisi terkini dan juga antisipatif untuk 'menerawang' apa yang akan terjadi pada masa mendatang. Jangan membuat kebijakan yang reaktif hanya sebagai solusi untuk satu masalah.

Banyak contoh yang bisa diambil, seperti ketika melarang skuter listrik dipakai di jalan raya hanya setelah terjadi kecelakaan maut di kawasan Senayan, Jakarta, beberapa waktu lalu. Contoh lainnya adalah pembongkaran sejumlah beton pembatas jalur sepeda dengan jalur kendaraan bermotor, yang diyakini sebagai respons atas banyaknya laporan kecelakaan yang menimpa mobil atau motor akibat menabrak pembatas yang cukup masif dimensinya.

Banyaknya keluhan dari sebagian masyarakat terkait keberadaan jalur sepeda yang seolah menganakemaskan satu pihak dan sekaligus menganaktirikan pihak lain, sewajarnya bagi para pemangku kepentingan untuk mengkaji kembali keberadaan fasilitas tersebut.

Memang belum ada keputusan soal itu, tapi bila melihat kondisi jalur sepeda sekarang yang lebih sering dilintasi kendaraan yang tidak berhak, mungkin tak salah juga kalau kemudian Pemprov. DKI Jakarta membongkarnya.

Kondisi ini selayaknya menjadi pelajaran berharga bagi pihak-pihak yang diberi amanah untuk menyusun kebijakan dan infrastruktur yang siap mengakomodasi perkembangan teknologi di masa mendatang.

Aturan dan prasarana itu tentunya bukan hanya untuk kepentingan para pesepeda saja, tapi mencakup seluruh moda transportasi dan mobilitas publik berteknologi tinggi, yang kelak akan menggunakan sarana dan prasarana secara bersama-sama.

Berbeda dengan negara-negara maju yang sudah memiliki infrastruktur perkotaan dan ekosistem yang sudah mapan, mereka akan lebih mudah dan cepat menyesuaikan fasilitas yang ada untuk menyambut kehadiran teknologi baru.

Sebagai contoh, ketika negara-negara Uni Eropa mulai menyiapkan aturan baru untuk semakin menekan tingkat emisi kendaraan bermotor menuju nol persen, mereka telah menyiapkan infrastruktur untuk menyambut kehadiran mobil listrik. Tak berhenti di situ, mereka bahkan sudah mulai membangun infrastruktur lain untuk kendaraan tanpa sopir alias otonom.

Kalau untuk di negeri +62, sepertinya semua itu baru tahapan mimpi. Meski sudah berseliweran beberapa gelintir mobil listrik murni di Ibu Kota dan beberapa kota besar lain, tapi pasti para pengemudinya kesulitan untuk menemukan stasiun pengisian daya baterai.

Apalagi kalau bicara mobil otonom di Tanah Air, dapat dipastikan kendaraan tanpa sopir itu bingung untuk 'berkomunikasi' dengan infrastruktur yang mayoritas masih semrawut. Bisa jadi mobil otonom tiba-tiba mengerem saat akan melintas di perempatan karena mengira ada kerumunan pejalan kaki akan menyeberang, padahal sebenarnya adalah 'kerumunan' tiang-tiang listrik milik PLN dan tiang telepon milik Telkom yang tak mematuhi anjuran jaga jarak.

Belum lagi mobil terbang yang saat ini sudah ada yang mulai diujicoba di beberapa negara Barat sebagai salah satu solusi mengatasi kemacetan. Lagi-lagi kendaraan canggih ini masih jauh panggang dari api bila ingin dijajal di Indonesia.

Bukannya sebagai solusi untuk menghindari kemacetan, mobil terbang bila beroperasi di Jakarta mungkin butuh kewaspadaan ekstra tinggi ketika akan lepas landas atau mendarat. Pasalnya, hampir semua kawasan di Ibu Kota 'dihiasi' dengan juntaian kabel bernilai estetis bintang satu (lagi-lagi milik PLN dan Telkom) yang seakan saling berlomba untuk mencuri perhatian para pengguna jalan. Dapat dibayangkan apa jadinya kalau sampai mobil terbang tersangkut kabel-kabel tersebut.

Nah, di sinilah diperlukan kebijakan, regulasi, infrastruktur dan ekosistem transportasi terintegrasi, yang disiapkan untuk mengakomodasi pembangunan kota pintar yang bebas polusi di masa depan, yang di dalamnya tentu termasuk sepeda, bisa juga skuter listrik diizinkan kembali sebagai mobilitas kaum urban, sepeda motor listrik, mobil listrik, kendaraan fuel cell hidrogen dan sebagainya.

Kalau semua infrastruktur di kota-kota besar di Indonesia sudah tertata rapi dan tepat guna bagi seluruh warganya, kita akan semakin jarang mendengar kejadian yang viral di dunia maya, seperti bentrok pesepeda dengan pemotor, pemotor dengan pejalan kaki atau pemobil dengan pemotor. Tugas polantas tentu akan semakin ringan, karena mereka tak lagi disibukkan mendamaikan para pengguna jalan yang saling berseteru, juga tak perlu repot menenteng buku tilang ke mana-mana, karena banyak pengguna jalan yang tertib berkat infrastruktur yang apik.

Tapi sebelum menuju ke sana, cobalah B2W Indonesia kembali menggalakkan gerakan moral untuk menggunakan sepeda sebagai alat transportasi dan mobilitas demi mengurangi kemacetan, pemborosan energi serta meningkatnya polusi yang akan berakibat pada degradasi kecerdasan dan mental manusia Indonesia. Yuk ramaikan kembali jalur sepeda dengan ke-Bike-an agar fasilitas yang dibangun dengan uang rakyat ini tak mubazir.

user image Teguh Rachmanto Jurnalis senior yang banyak mengulas isu seputar ekonomi, otomotif dan kesehatan.